Recent Posts

MK : UU Tapera Inkonstitutional Bertentangan Dengan UUD 1945

TWEETUP
Senin, 29 September 2025, 7:41 PM WIB Last Updated 2025-09-30T12:43:31Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini
MK putuskan UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945 dan harus diubah – 'Tapera akan menjadi beban pekerja terlebih lagi bagi yang terkena PHK


Jakarta. TWEETUP.ID - Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan pengujian UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang diajukan oleh Konferedasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).


Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan UU Tapera inkonstitusional lantaran Pasal 7 ayat 1 yang disebut sebagai "pasal jantung" dalam beleid itu telah bertentangan dengan UUD 1945.


Pasal 7 ayat 1 berbunyi: "Setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta".


Karenanya, Mahkamah memberikan tenggat waktu paling lama dua tahun kepada pembuat undang-undang untuk melakukan penataan ulang sejak putusan tersebut dibacakan.


"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan UU Tapera di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/09).


Menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188)."


"Menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863) dinyatakan tetap berlaku dan harus dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan a quo diucapkan."


"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya."


Sebelumnya, ada tiga pihak yang melayangkan gugatan—dua dari kelompok buruh dan seorang pekerja—atas Pasal 7 ayat 1 yang isinya: "setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta".


Frasa wajib itu, menurut para penggugat, hanya menambah beban finansial sementara tak ada jaminan mereka bakal mendapatkan rumah.


Apa saja pertimbangan MK?


Pertama, MK menilai Tapera telah menggeser makna konsep tabungan yang sejatinya bersifat sukarela menjadi penghutang yang bersifat memaksa.


Padahal penggunaan istilah tabungan tidak bisa dilepaskan dari makna umum yang berlaku dalam praktik perbankan maupun sistem keuangan. Di mana, tabungan merupakan salah satu bentuk simpanan yang penarikannya tunduk pada syarat-syarat yang disepakati antara masyarakat dan lembaga keuangan.


Dengan demikian, kata MK, unsur kesukarelaan dan persetujuan menjadi pondasi penting dalam pembentukan hukum dan konteks penyimpanan dana.


Sementara, konsep tabungan dalam Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.


"Berdasarkan pertimbangan demikian, penggunaan istilah tabungan dalam Tapera tidak serta merta dapat diartikan sebagai penghutang resmi yang bersifat memaksa, seperti halnya pajak," ujar Saldi Isra.


"Berkenaan dengan hal ini, penyematan istilah tabungan dalam program Tapera menimbulkan persoalan bagi pihak-pihak yang terdampak, yakni pekerja karena dikunci dengan unsur pemaksaan dan meletakkan kata wajib sebagai peserta Tapera..."


"Sehingga secara konseptual tidak sesuai dengan karakteristik hakikat tabungan yang sesungguhnya karena tidak lagi terdapat kehendak bebas."


Kedua, MK menilai kewajiban pekerja menjadi peserta Tapera untuk mendapatkan rumah telah menggeser peran negara.


Padahal, menurut Mahkamah, negara ditempatkan sebagai penanggung jawab utama penyediaan rumah layak huni bagi warganya.


Namun dengan adanya Pasal 7 ayat 1 UU Tapera, justru tidak sejalan dengan tujuan dimaksud. Sebab norma itu mewajibkan setiap pekerja termasuk pekerja mandiri yang berpenghasilan sedikitnya sebesar upah minimum untuk menjadi peserta.


Ketentuan Pasal 7 ayat 1, papar MK, juga tidak sejalan dengan esensi Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang pada pokoknya menegaskan kewajiban negara untuk mengambil tanggung jawab penuh atas kelompok rentan.


Bukan justru mewajibkan mereka menanggung beban tambahan dalam bentuk tabungan yang menimbulkan unsur pemaksaan.


"Prinsip tanggung jawab negara tersebut dipertegas dalam kebijakan sektoral mengenai perumahan yang secara eksplisit dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 yang menegaskan peran negara adalah menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan," sambung Saldi Isra.


"Guna mewujudkan peran negara tersebut, negara memastikan ketersediaan dana dan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan rumah dan perumahan melalui sistem pembiayaan dalam bentuk pengerahan dan pengumpulan dana."


Dana masyarakat itu, berasal dari masyarakat yang disimpan di lembaga keuangan dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain—yang tanpa ada unsur kewajiban.


Ketiga, MK menilai frasa "wajib" dalam Pasal 7 ayat 1 UU Tapera akan menjadi beban pekerja terlebih lagi bagi yang terkena PHK dan atau pemberi kerja yang usahanya telah dilakukan atau dicabut izin usahanya.


Sehingga berpotensi mendegradasi kehidupan sosial ekonomi yang semakin menjauhkan negara dalam upaya mewujudkan amanat Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang berdampak pada kehidupan ekonomi pekerja dan pemberi kerja.


Hal tersebut disebabkan jika pekerja atau pemberi kerja melanggar Pasal 7 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 1 UU Tapera—yang mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerja sebagai peserta—akan terkena sanksi administratif.


Misalnya, pembekuan izin usaha, pencabutan izin usaha. Itu, kata MK, tentu saja memberatkan pemberi kerja terlebih ketika berada dalam situasi ekonomi yang tidak kondusif.


Keempat, MK menilai kehadiran Tapera menimbulkan kontradiksi dengan UU 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.


Dalam UU Nomor 1 Tahun 2011, jelas MK, pekerja dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sudah bisa mengakses layanan kepemilikan, pembangunan, dan renovasi rumah dari berbagai skema seperti Jaminan Hari Tua (JHT).


Di situ tertera, JHT tidak hanya berfungsi untuk menjamin kesejahteraan di masa tua tetapi juga dirancang agar dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan mendadak di usia produktif. Salah satunya adalah 30% untuk kepemilikan rumah dan 10% keperluan lain.


"Peserta JHT pada hakikatnya sudah memiliki akses terhadap tabungan maupun fasilitas pembelian perumahan tanpa harus dibebani iuran tambahan lainnya."


"Sebagai pembanding ASN dapat mengikuti program ASN Housing Program yang dikelola oleh anak perusahaan PT Taspen yaitu PT Taspen Property atau Taspro. Sedangkan bagi prajurit TNI dan Polri bisa mengikuti program Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan atau pinjaman uang muka kredit perumahan yang dikelola PT Asabri."


"Selain itu setiap bank memiliki skema KPR yang bisa dipilih secara sukarela oleh masyarakat bahkan di luar program tersebut."


Itu mengapa, bagi MK, kehadiran Tapera yang mewajibkan dan disertai sanksi menjadi tumpang tindih.


Tak cuma itu saja, MK berpandangan Tapera berpotensi menimbulkan beban ganda terutama bagi kelompok pekerja yang sudah berkontribusi dalam skema jaminan sosial lainnya yang sudah ada.


Kelima, MK menilai ketentuan Pasal 7 ayat 1 yang mengharuskan pekerja menyisihkan penghasilannya untuk perumahan—yang relatif sama dengan skema JHT—menimbulkan duplikasi program.


Yang pada akhirnya menjadi iuran ganda lantaran dibebani pemotongan upah.


"Dengan adanya kewajiban pemotongan Tapera jelas mengurangi bagian dari upah yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pekerja sehari-hari."


"Di sisi lain, simpanan wajib diberlakukan tanpa membedakan pekerja yang telah memiliki rumah atau belum. Kewajiban seragam ini bagi seluruh pekerja menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional."


Merujuk pada semua pertimbangan di atas, MK menilai Pasal 7 ayat 1 UU Tapera merupakan "pasal jantung" yang menjiwai seluruh norma dalam UU Tapera. Sebab frasa "wajib" tersebut berkelindan pada keharusan mendaftarkan diri menjadi peserta hingga pemberian sanksi.


MK juga berpandangan persoalan mendasar dalam UU Tapera bukan hanya terletak pada satu pasal tertentu, melainkan ada pada desain hukum secara keseluruhan.


Oleh karenanya, menurut MK, pembentuk UU harus menata ulang desain pemenuhan hak atas rumah dengan mengembangkan konsep perumahan yang salah satunya adalah central public housing agar bisa menyelesaikan persoalan keterbatasan lahan perkotaan dan memberikan hunian bagi MBR sebagai bagian dari sistem nasional penyediaan hunian publik yang masif, terjangkau, dan berkelanjutan.


"Dengan demikian Mahkamah berpendapat Pasal 7 ayat 1 UU Tapera harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka konsekuensi juridisnya Pasal 9 ayat 1 dan 2, serta Pasal 17 ayat 1 UU Tapera sebagaimana didalilkan oleh pemohon juga kehilangan dasar konstitusionalnya."


Artinya, tidak ada kewajiban pekerja maupun pekerja mandiri untuk mendaftar sebagai peserta Tapera.


Tak ada pula kewajiban pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta Tapera.


Dengan demikian, takkan ada sanksi yang dijatuhkan kepada peserta maupun pemberi kerja.


Adapun aturan turunan dari UU Tapera berupa Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan tabungan perumahan rakyat, kata MK, harus disesuaikan dengan putusan tersebut.


Kekosongan hukum


Oleh karena UU Tapera dinyatakan inkonstitusional maka untuk mengisi kekosongan hukum, Mahkamah memberikan tenggat waktu bagi pembuat undang-undang untuk menata ulang pengaturan mengenai pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan yang tidak menimbulkan beban yang memberatkan bagi pemberi kerja, pekerja, termasuk pekerja mandiri.


Dalam hal ini pembentuk undang-undang perlu menghitung secara cermat ihwal pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan dari pengaturan yang sifatnya mewajibkan menjadi pilihan bagi pemberi kerja, termasuk pekerja, dan pekerja mandiri sesuai dengan prinsip keadilan sosial, perlindungan kelompok rentan, serta kesesuaian dengan peraturan perundangan-undangan.@bbc







'

Komentar

Tampilkan

Terkini

Story

+
-->